WeLcome to my Blog

Senin, 18 Juni 2012

ASPEK KEPERILAKUAN PADA PENGAMBILAN KEPUTUSAN


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang

Pengambilan keputusan merupakan suatu proses mengombinasikan pendekatan yang rasional dan judgmental, yang prosesnya tidak dapat diformulasikan secara lengkap. Dalam proses ini, pengambil keputusan akan selalu menghadapi risiko yang berpengaruh pada proses judgment itu sendiri. Pemahaman terhadap proses pengambilan keputusan pada masalah yang kompleks sangatlah penting agar dapat mengambil keputusan dengan baik dan menghadapi risiko dengan bijak. Praktik pengambilan keputusan selama ini menunjukkan kompleksitas masalah dan keterbatasan kemampuan rasional manusia, maka orang akan melakukan pengambilan keputusan secara rasional dan juga dalam berbagai situasi, mengambil keputusan dengan proses heuristic.
Heuristik adalah proses yang dilakukan oleh individu dalam mengambil keputusan secara cepat, dengan menggunakan pedoman umum dan sebagian informasi saja. Proses ini mengakibatkan adanya kemungkinan bias, kesalahan, dan ketidakakuratan keputusan.
Kekeliruan konjungsi (conjuction fallacy) adalah pengambilan keputusan tentang kemungkinan terjadinya peristiwa konjungtif yang berbeda dengan logika teori probabilitas. Sementara itu, bias hainsait selama ini dikenal sebagai tendensi bias karena orang (evaluator) yang telah mendapatkan informasi tentang hasil merasa telah mengetahui suatu hasil sebelum suatu keputusan diambil. “Biasanya ini dipandang tidak adil bagi pengambil keputusan karena mengesampingkan keadaan ketika keputusan ini diambil.


B.   Tujuan
Dengan mengetahui resiko yang akan timbul dan apa saja factor yang mempengaruhi terjadinya bias dalam pengambilan keputusan, diharapkan kepada pembaca makalah dapat mengurangi resiko atas bias dalam pengambilan keputusan.

















BAB II
PEMBAHASAN

A.   Pengertian Bias Dalam Pengambilan Keputusan

Penelitian menunjukkan bahwa penilaian seorang negosiator tidak selamanya “rasional.”  Dalam pengambilan keputusan seringkali terperangkap cacat keputusan, sehingga hasil-hasil perundingannya di bawah optimal.  Dalam literatur teori keputusan atau proses kognitif, misalnya yang dibangun atas temuan-temuan Tverski dan Kahneman, ini disebut bias atau heuristics.  Heuristics adalah semacam “jalan pintas” dalam proses pembuatan keputusan dan penilaian.  Seringkali, heuristics ini terjadi dalam kondisi ketidakpastian serta didasarkan atas data yang validitasnya terbatas.  Dengan demikian, ini tergolong kepada persoalan judgment under uncertainty dan judgment under risk.

B.   Beberapa faktor Penyebab adanya Bias dalam pengambilan keputusan

1.    Heuristics
Menggunakan “petunjuk praktis” untuk mempermudah pengambilan keputusan. Seorang yang mengambil keputusan di bawah tekanan deadline waktu, sering terjebak dalam salah pengambilan keputusan disebabkan karena hanya menggunakan informasi yang tidak lengkap dan kurang relevan untuk dijadikan landasan dalam pengambilan keputusan.

2.    Kutukan Pemenang [Winner’s Curse]
Pedagang setuju melepas dagangannya sesuai harga yang Anda ajukan.  Tapi mengapa Anda malah resah dan menyesal? 
Persoalan pokok dalam kutukan pemenang adalah: salah satu dari dua perunding memiliki informasi yang lebih banyak atau lebih baik – dalam kasus di atas, si pedagang.  Sementara, Anda menganggap enteng arti penting informasi akurat dalam transaksi.  Nasihat orang-orang tua, “teliti sebelum membeli,” sangat relevan dalam perundingan yang rasional.  Di sini “teliti” berarti mengumpulkan dan menggunakan informasi sebelum dan saat berunding.  (Apa beda “kutukan pemenang” dengan “Pak Tua yang selalu benar”?) 

3.    Pem-bingkai-an [Framing]
Memilih dan menggarisbawahi aspek tertentu dari suatu keadaan dengan mengabaikan aspek yang lain. Misalnya, Jimmy Connors, mantan petenis kaliber dunia mengatakan, “Ketika bertanding, saya cenderung ‘takut kalah’ daripada ‘ingin menang’”?  Dengan kata lain, prospek kalah lebih besar artinya bagi Connors daripada prospek menang.  Atau, ia cenderung menghindari resiko daripada mengambil resiko. 
Dalam perundingan, frame adalah soal bagaimana perunding merumuskan isu dan hasil yang mereka hadapi dalam suatu perundingan.  Framing – positif atau negatif, half empty atau half full, keuntungan atau kerugian – sangat penting artinya, terutama dalam membimbing seseorang memilih taktik berunding.  Penelitian menunjukkan bahwa perunding berbingkai kehilangan lebih sulit memberi konsesi dibanding perunding berbingkai perolehan.  Begitu pula, perunding berbingkai perolehan lebih berhasil dibanding yang berframe kehilangan, karena yang pertama berhasil mencapai lebih banyak kesepakatan dibanding yang kedua.  Sehubungan dengan perundingan harga, riset menunjukkan bahwa perunding yang berbingkai kehilangan bisa mencapai kesepakatan yang lebih optimal baginya bila berhadapan dengan perunding yang berbingkai perolehan.  Dengan kata lain, bingkai kehilangan bisa juga menjadi aset, yaitu bila lawan berunding menggunakan bingkai perolehan. 
Jadi, pada kunjungan berikutnya ke toko DVD bajakan (per keping Rp 10.000, setiap beli 5 gratis 1 keping), berapa keping akan Anda beli (baca: bingkai apa yang Anda gunakan)? 

4.    Kemiripan [Representativeness]
Menggambarkan analogi dan menilai kemiripan peristiwa  berdasar pada seberapa dekat peristiwa tsb menyerupai peristiwa yg lain. Sebagai contoh, hasil perundingan Munich 1938, Inggris setuju menutup mata atas agresi NAZI.  Dewasa ini, jika ada tendensi tutup mata terhadap suatu agresi, politisi internasional akan mengatakan,”Kalau dibiarkan, ini akan menjadi Munich kedua”.
Orang sering mencari kemiripan antara perundingan yang sedang dihadapinya dengan preseden di masa lalu.  Penilaian, pemilihan taktik, dan pengambilan keputusan pun kemudian cenderung disamakan dengan perundingan terdahulu yang dianggap serupa.  Padahal, yang serupa belum tentu sama, bukan?

5.    Ketersediaan [Availability]
Kehilangan objektivitas dalam pengambilan keputusan karena focus hanya pada kejadian yang baru terjadi. Misalnaya, seminggu terakhir, Anda menonton 5 film Johny Depp.  Ketika diminta mengusulkan nama aktor pria untuk diulas di rubrik film, Anda pun mengusulkan Johny Depp – bukan Al Pacino yang baru saja berulang tahun, Sean Penn yang lagi-lagi masuk pusat rehabilitasi, Leo diCaprio yang baru merilis film baru, Forrest Whittaker yang baru mendapat Oscar, atau Marlon Brando yang baru saja wafat.  Kenapa ya?
Ketersediaan adalah penggunaan contoh atau skenario yang tersedia dan gampang teringat (vivid, salient) untuk menilai frekuensi, probabilitas, atau plausibilitas suatu isu atau peristiwa.  Fakta atau informasi lain cenderung diabaikan hanya karena tidak segar dalam ingatan.  Sesuatu yang masih segar dalam ingatan perunding tampak lebih sering terjadi, lebih mungkin terjadi, atau lebih pantas terjadi.  Guna menghindari bias ketersediaan, perunding perlu hati-hati supaya ketersediaan informasi tertentu tidak menyebabkannya lupa menganalisis situasi negosiasi.  Ingat, informasi harus dinilai berdasarkan keandalannya, bukan ketersediaannya.  Bedakan antara informasi yang relevan dan dapat diandalkan dari yang masih segar dalam ingatan dan dikenal dekat.
6.    Kesalahan Biaya yg ditanamkan (Sunk Cost Errors) / Patokan awal dan penyesuaian [Anchoring and insufficient adjustment]
 Lupa bahwa tindakan yang sekarang tidak dapat mempengaruhi kejadian yang lalu dan hanya berhubungan dengan konsekuensi di masa depan. 1 x 10 x 100 x 1000 x 10000 sekilas terasa lebih kecil nilainya dibandingkan 10000 x 1000 x 100 x 10 x 1.  Dua tahun lalu Anda mendapat angpao Rp 500.000.  Tahun lalu Anda mendapat Rp 700.000.  Tahun ini, orang tua Anda sebenarnya punya rencana memberi Rp 1.000.000.  Sayang Anda hanya meminta Rp 900.000.  Mengapa demikian?
Sesuatu (informasi, skenario, preseden, dll) yang menjadi patokan awal biasanya berperan besar dalam pengajuan tawaran dan pembuatan konsesi.  Terkadang perunding terlampau terpaku pada patokan tersebut, sehingga gagal membuat penyesuaian yang tepat.  
Ketika perunding menanggapi tawaran awal lawan dengan mengajukan penawaran dan penyesuaian, ia telah menerima atau memberi kredibilitas terhadap patokan awal yang dibuat lawan.  Status quo, jalan keluar yang paling menonjol, dan focal point sering menjadi patokan awal.  Jika patokan awal terlalu ekstrem, apa yang Anda lakukan?  Re-anchoring dan atau threatening.  Menurut riset, penggunaan patokan awal terutama terjadi dalam situasi perundingan yang ditandai dengan ketidakpastian.

7.    Bias Kepuasan Yang cepat
Memilih alternatif yang menawarkan hasil yang cepat dan menghindari biaya yang cepat. Asumsi ini sering sekali salah. Misalnya Kita akan menerima pegawai baru, perusahaan tidak membuka lamaran secara terbuka, karena dinilai terlalu lama dan akan memakan biaya, jadi yang dilakukan perusahaan hanya mengandalkan referensi/promosi dari pkenalan pegawai lama, yang belum tentu akan dapat menguasai pekerjaan tersebut. Dibandingkan dengan diadakannya penerimaan secara terbuka dan dari hasil seleksi yang ketat, tentu hasilnya akan lebih maksimal.

8.    Bias Konfirmasi / Eskalasi yang tidak rasional
Mencari informasi yang menegaskan kembali pilihan yang lalu dan mengabaikan informasi yang berlawanan. Dalam suatu keputusan  yang telah diambil, banyak dari pengambil keputusan akan melanjutkan keputusan tersebut, untuk kasus yang sama tetapi dalam periode berbeda. Ini disebut eskalasi komitmen atau eskalasi konflik yang tidak rasional. Artinya, langkah yang telah diambil terus diikuti walaupun sudah tidak optimal dan menguntungkan.  Dalam bahasa dangdut,”Terlanjur basah, ya sudah mandi sekali.” Waktu, tenaga, uang, dan perhatian yang telah banyak dicurahkan menjadi pembenar untuk terus melanjutkan langkah yang diambil (supaya “pengorbanan” tidak sia-sia), walaupun tidak rasional lagi.  Perunding seharusnya tidak menjadikan sunk costs (investasi uang, waktu, tenaga, yang telah dilakukan) sebagai rujukan, tapi keadaan sekarang dan untung rugi masa depan. 

9.    Bias Peninjauan ke Belakang (Hindsight Bias)

Kesalahan meyakini bahwa suatu kejadian dapat diramalkan jika hasil aktual diketahui. Misalnya, anda membayangkan pacar Anda ngambek karena semalam Anda tidak apel (hujan deras, Sayang!).  Hari ini Anda datang membawakan coklat favoritnya, menyewakan DVD yang sudah lama ingin ditontonnya, dan menawarkan mengetikkan tugasnya.  Anda tidak tahu bahwa sebenarnya dia senang Anda tidak datang: tiga tugas kuliahnya selesai, bisa pesan delivery pizza (Anda selalu menolak diajak makan pizza), dan sempat bikin slumber party dengan teman-teman se-kost.  Nah lo!
Terkadang, seorang perunding beranggapan bahwa ia dan lawan rundingnya berbeda kepentingan atau bertikai mengenai sesuatu hal, padahal sebenarnya tidak.  Konflik yang ia bayangkan ternyata semu.  Malahan, ia dan lawan rundingnya menginginkan hal yang sama (common value).  Akan tetapi, karena bertindak berdasarkan anggapan adanya konflik, si perunding mendapatkan hasil yang tidak optimal. 
Dalam kasus di atas, Anda dan pacar memiliki common value: tidak apel.  Bias konflik semu membuat Anda menyangka telah membuat konsesi untuknya dengan membawakan coklat dll, padahal tidak.  Bayangkan jika pacar Anda dari awal menggunakan taktik strategic mispresentation dan berkata,”Oke, kamu boleh tidak apel, tetapi kamu harus A, B, dan C.”  Di mata Anda, ia seperti memberi konsesi (merelakan tidak diapeli), padahal ia mendapatkan semua yang diinginkannya: Anda tidak apel, A, B, dan C. 


10.  Persepsi yang Selektif [Reactive Devaluation]
Selektif mengatur dan  menafsirkan peristiwa yang berdasar pada persepsi mereka yang bias. Misalnya, dalam sebuah mediasi, Ahmad Dhani serta merta menolak klausul yang diajukan Maia.  Padahal, klausul yang sama, jika diajukan oleh Kak Seto, sang mediator, atau pihak ketiga lainnya (termasuk Mulan!), pasti akan diterima Ahmad Dhani.  Ini yang disebut reactive devaluation.
Perunding seringkali beranggapan bahwa usulan lawan hanya menguntungkan diri lawan sendiri, dan karenanya merugikan diri si perunding.  Akibatnya, sebagus apapun usul lawan, perunding pasti men-devaluasi-nya, alias mengurangi bobotnya.  Semakin rendah rasa percaya antarperunding, semakin tinggi kemungkinan masing-masing saling mendevaluasi usul lawan.

11. Bias Keacakan (Randomness Bias)
Menciptakan makna yang tidak diketahui dari peristiwa acak. Acapkali dari banyaknya peristiwa yang terjadi disekitar, kita malah sering mengambil salah satu kesimpulan dari salah satu peristiwa yang terjadi, padahal, peristiwa-peristiwa tersebut belum tentu dapat mewakili dari kesimpulan atas keputusan yang akan kita ambil, untuk satu peristiwa.

12. Terlalu percaya diri [Overconfidence]
Menganut pandangan positif yang tidak realistis tentang diri seseorang dan kinerja seseorang. Ada kalanya, seorang perunding terlalu yakin bahwa taktik dan ancamannya jitu, bahwa lawan akan segera menurunkan tuntutan atau memberi banyak konsesi, serta bahwa ia akan menang.  Merasa di atas angin, perunding enggan menurunkan tawaran dan memberi konsesi.  Dan karena tidak mengantisipasi kegagalan, ia pun tidak membuat rencana cadangan. 
Perunding yang terlalu PD biasanya hanya berorientasi pada perolehan sendiri.  Perunding yang berorientasi pada perolehan bersama cenderung melihat “both sides having equally strong cases” sehingga tidak serta merta melihat diri sendiri sebagai “yang pantas menang” atau “yang akan menang mudah”.

13. [Mood states]
Kapan terakhir kali Anda berunding saat sedang bete?  Kreatifkah jalan keluar yang disepakati dalam perundingan tersebut?
Riset menunjukkan bahwa suasana hati yang riang mengurangi kemungkinan perunding bersikap kasar serta meningkatkan kemampuan kognitifnya dalam mengenali solusi-solusi kreatif.  Suasana hati yang positif menjadikan perunding lebih banyak menaruh kepercayaan terhadap lawannya, lebih bersedia mendengar dan mengeksplorasi opsi, serta lebih banyak bertukar konsesi.  Konon, keberhasilan Henry Kissinger terletak pada kepiawaiannya menggunakan humor sebagai alat diplomasi.

Intinya, cacat keputusan seringkali terjadi karena perunding men-diskon informasi.  Men-diskon artinya menganggap enteng, mengurangi bobot, mengabaikan, atau bahkan mengingkari informasi tersebut.  Diskon dilakukan karena banyak alasan, antara lain karena informasi dianggap tidak relevan, tidak sesuai script, tidak selaras dengan patokan, tidak mirip, atau tidak segar; atau karena perunding merasa di atas angin, merasa benar sendiri, sedang bete, menghadapi konflik semu, atau sudah terlanjur mengorbankan banyak hal. 















C.   Resiko
Kita telah membahas tentang apa-apa saja factor yang menyebabkan terjadinya bias dalam pengambilan suatu keputusan. Adapun resiko yang akan timbul dari bias dalam pengambilan keputusan, adalah:
v  salah dalam pengambilan keputusan yang disebabkan karena hanya menggunakan informasi yang tidak lengkap dan kurang relevan untuk dijadikan landasan dalam pengambilan keputusan.
v  Merasa resah dan menyesal atas keputusan yang telah diambil.
v  Tidak optimalnya kinerja dari organisasi atau perusahaan karena adanya satu keputusan yang bias.
v  Terlewatnya kesempatan dalam mencapai keuntungan karena salah dalam pengambilan keputusan.

D.   Cara Mengatasi Bias dalam Pengambilan Keputusan
Yang Harus dilakukan oleh para manajer untuk memperbaiki pengambilan keputusan mereka agar tidak terjadi bias dalam pengambilan keputusan, antara lain:
l  Analisis situasi, seseuaikan gaya pengambilan keputusan anda dengan budaya nasional setempat, evaluasi kreteria, dan sistem penghargaan organisasi anda. Sesuaikan gaya keputusan anda untuk meyakinkan kecocokannya dengan budaya organisasi.
l  Waspada terhadap bias. Setiap keputusan pasti membawa bias. Jika anda sadar bahwa terdapat bias yang mempengaruhi penilaian anda, anda dapat mulai merubah cara anda dalam mengambil keputusan.
l  Kombinasikan analisis rasional dengan intuisi, karena kedua hal tersebut bukan pendekatan yang bertentangan dalam pengambilan keputusan. Dengan menggunakan keduanya akan dapat memperbaiki keefektifan keputusan anda.Begitu anda memperoleh pengalaman manajerial, pasti anda merasa semakin yakin dalam menetapkan proses intuitif anda diatas puncak analisis rasional anda.
l  Jangan pernah beranggapan keputusan pada hal tertentu dapat diterapkan pada setiap pekerjaan.Karena organisasi berbeda, begitu pula pekerjaan dalam organisasi. Keefektifan meningkat bila ada kecocokan gaya keputusan anda dengan kebutuhan pekerjaan. Contoh:  PK bergaya perintah lebih cocok dan efektif untuk pekerjaan yang menghendaki tindakan cepat seperti pekerjaan pialang saham.
l  Gunakan teknik perangsangan kreativitas. Anda dapat memperbaiki keefektifan pengabilan keputu-san dengan mencari solusi baru terhadap suatu permasalahan. Perangsangan kreativitas dapat sesederhana seperti mengatakan pada diri anda sendiri untuk berfikir kreatif dan secara spesifik mencari alternatif-alternatif yang unik, bisa mempraktekkan pembuatan daftar atribut dan teknik berfikir lateral.












BAB III
PENUTUP

A.   Kesimpulan
Salah satu masalah yang akan dihadapi dalam suatu organisasi atau sebuah perusahaan  adalah dalam pengambilan keputusan. Keputusan yang diambil akan sangat mempengaruhi dari operasional organisasi atau perusahaan tersebut.
            Keputusan yang diambil secara asal atau tanpa pertimbangan dari informasi yang akurat atas masalah yang akan diambil keputusannya akan menjadi bias dalam pengambilan keputusan. Bias yang terjadi dalam suatu pengambilan keputusan berdampak resiko yang akan dihadapi. Agar tidak terjadinya bias dalam pengambilan keputusan seorang manajer atau pimpinan harus mengetahui apa saja factor yang menyebabkan terjadinya bias dalam pengambilan keputusan. Setelah diketahuinya factor tersebut, diharapkan kepada manajer atau pimpinan akan dapat menghindari atau meminimalisir terjadinya bias dalam pengambilan keputusan.
Untuk mencegah terjadinya bias dalam pengambilan keputusan, ada beberapa cara yang harus diperhatikan; yaitu, sebelum mengambil sebuah keputusan manajer atau pimpinan harus  Analisis situasi, seseuaikan gaya pengambilan keputusan anda dengan budaya nasional setempat, evaluasi kreteria, dan sistem penghargaan organisasi anda. Sesuaikan gaya keputusan anda untuk meyakinkan kecocokannya dengan budaya organisasi, lalu mempeetimbangkan informasi yang berkaitan dengan masalah yang diambil keputusan.




Datar Pustaka


Tidak ada komentar:

Posting Komentar